Search This Blog

ARISTOTELES BERBICARA TENTANG: PERSAHABATAN, CINTA, DAN KEBAHAGIAAN


Hasil gambar untuk ARISTOTELES

Setiap orang pasti merasa dirinya memiliki sahabat. Di sekitar rumah, di sekolah, di kampus, dimana saja. Hubungan persahabatan ini tentu saja dibentuk karena adanya ikatan, adanya persamaan maupun kebutuhan untuk saling melengkapi satu sama lain. Namun, manusia tidak akan bisa menjalin sebuah persahabatan tanpa adanya interaksi, dan ini dibentuk dari sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial, yang selalu berusaha untuk hidup dengan orang lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri, tidak seperti hewan yang hidup hanya menurut insting dan dorongan indvidualnya masing-masing. Sekarang, sampai sejauh mana persahabatan, hubungan sosial ini membantu manusia dalam mencapai tujuannya? Sebenarnya, apa yang menjadi tujuan manusia?

Ternyata, pertanyaan ini telah hinggap dalam pemikiran seorang yang hidup lebih dari 2300 tahun yang lalu: Aristoteles. Ia adalah seorang filosof Yunani terbesar selain Plato, gurunya. Lahir pada tahun 384 SM di Stagyra, dan menjadi murid Plato selama 20 tahun di Athena. Filosof ini merupakan penulis pertama yang membahas etika, sebuah tulisan yang mengajak manusia belajar untuk hidup bijaksana. Gagasan dasar Aristoteles yaitu bahwa manusia hidup bijaksana semakin ia mengembangkan diri secara utuh. Selama 7 tahun (342 – 335 SM), Aristoteles menjadi guru dari Iskandar Agung muda. Aristoteles memiliki perguruan sendiri, Lykaion. Bukunya yang paling terkenal adalah Etika Nikomacheia, yang isinya tentang pembahasan filsafat moralnya.

Pertanyaan apakah yang menjadi tujuan manusia, dijawab oleh Aristoteles dengan membagi tujuan manusia menjadi 2, yaitu:

1.  Tujuan sementara, yaitu sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut.

Sebagai contoh, seseorang yang mengikuti kursus komputer. Tujuannya adalah mendapatkan ijazah ataupun keterangan lulus, yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan dilakukan untuk mencapai banyak tujuan lagi, seperti mencari nafkah, mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, dsb.

2. Tujuan akhir, yang menjadi tujuan paling terakhir yang ingin dicapai manusia. Dan inilah yang ingin diceritakan Aristoteles kepada kita.

Aristoteles menekankan, bahwa setiap manusia memiliki tujuan akhir, yang merupakan batas dan manusia tidak akan menemukan tujuan yang lebih lanjut adalah: KEBAHAGIAAN. Jikalau seorang manusia telah merasa dirinya bahagia, tentu sudah ia merasa puas, ia tidak akan mencari apapun lagi, dan juga sebaliknya. Aristoteles merupakan filosof pertama yang mengatakan bahwa kebahagiaan merupakan hal yang dicari setiap orang, karena itu etika Aristoteles disebut “eudaimonisme” dari kata eudaimonia yang berarti bahagia.

Dalam prosesnya kehidupan itulah Aristoteles menekankan manusia agar menata kehidupannya agar manusia semakin bahagia. Namun, apakah kebahagiaan dapat diperoleh dengan menghindari rasa ‘sakit’ dan hanya mencari nikmat jasmani? Aristoteles dengan tegas menjawab tidak. Karena dengan begitu kita tidak akan dapat menjadi manusia utuh, karena menghindari sakit juga insting yang dimiliki oleh binatang. Paham inilah yang disebut hedonisme (dari kata Yunani hedone, yang artinya nikmat kegembiraan), sebuah paham filsafat yang salah satunya dicetuskan Epikuros (341-270 SM). Namun, seperti menurut Aristoteles, dengan menjadi hedonis, maka kita tak ubahnya binatang, tidak masuk akal, dan memalukan, karena sebenarnya perasaan nikmat dan sakit itu tidaklah boleh diabaikan untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh.

Menurut Aristoteles, rasa nikmat yang lebih kekal bisa kita raih dengan tidak terfokus dengan rasa nikmat itu sendiri. Kita makan, bukan untuk mencari nikmatnya makan, tetapi untuk kebutuhan hidup. Dua orang sejoli menjalin cinta, janganlah memanfaatkan hubungannya untuk mencari nikmat seksual, mencapai nikmat materi, karena itu akan menimbulkan suatu sikap saling memanfaatkan, dan ini tentu saja suatu saat akan membunuh hubungan tersebut. Aristoteles mengajarkan bahwa kita harus mengejar perbuatan bermakna yang nyata, karena dengan begitu, nikmat itu akan mengikuti dengan sendirinya.

Persahabatan menurut Aristoteles

Seperti yang sudah dibahas di awal, semua manusia pastilah merasa dirinya memiliki sahabat. Namun, seperti apa persahabatan jika dilihat dari sudut pandang kebahagiaan, sudut pandang Aristoteles?

Aristoteles membagi persahabatan menjadi 3, yaitu persahabatan yang atas dasar saling menguntuntungkan, atas dasar saling menikmati, dan atas dasar saling menyenangi atau mencintai. Persahabatan pertama dan kedua tentu saja tidak akan bersifat abadi, besar kemungkinan terjadi konflik, dan tentu saja kedua pihak tidak merasakan kepuasan. Persahabatan hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain. Tentu saja bukan jenis persahabatan seperti ini yang kita harapkan.

Sang filosof menulis dalam Etika Nikomacheia bab 8, halaman 10: “rupa-rupanya keutamaan di antara sahabat adalah cinta”. Di dalam cintalah, manusia akan menemukan persahabatan yang sejati. Dalam persahabatan, manusia akan membuka diri terhadap orang lain, dan dengan begini, manusia bisa mengembangkan dirinya. Ia menegaskan pula bahwa pengembangan diri bukan dengan mengitari diri sendiri, dengan memikirkan diri sendiri, hanya memperhatikan hal-hal yang kita dapat atau kita lepas, melainkan dari mencintai. Mencintai yang dapat mengembangkan itu hanya nyata, jika mencintai dengan sungguh-sungguh, bukan demi diri sendiri, tetapi untuk orang yang dicintai. Kita semua tumbuh dan berkembang dalam cinta, namun cinta sejati apabila diberikan tulus demi sahabat. Di dalam cinta, manusia berani untuk melepaskan diri demi sahabat, rela mati demi untuk dia, dan di dalam kerelaannya melepaskan diri itu pulalah yang membuat manusia semakin menemukan diri, semakin berkembang.

Aristoteles turut menambahkan bahwa persahabatan mendalam tidak mungkin dan tidak perlu dengan banyak orang, berbeda dengan kebaikan hati yang tidak terbatas, tetapi bersifat sepihak. Orang berbudi luhur tidak akan mencari untung atau nikmat dari persahabatan. Ia lebih senang memberi daripada menerima. Aristoteles juga mengetahui bahwa persahabatan yang paling mendalam adalah antara laki-laki dan perempuan. Sekali lagi ia menjelaskan bahwa persahabatan itu tidak seperti binatang, persahabatan seperti itu bukan semata-mata demi keturunan, namun demi bersatunya hidup kedua orang itu (Etika Nikomacheia, 8: 14).

Kemudian timbullah sebuah pertanyaan penting: Apakah dengan kita bersahabat, maka akan mengurangi kemandirian kita, kita tidak lagi menguasai diri sendiri? Aristoteles menjawab, persahabatan yang mengurangi independensi hanya berlaku untuk para dewa, tidak manusia. Orang baik yang ingin berbuat baik tentu membutuhkan orang lain, dan jika ia mengalami kesusahan juga membutuhkan orang lain untuk membantunya. Aristoteles berkata hidup sendiri bagi manusia berarti bahwa ia memahami hidupnya. Dalam memahami hidup inilah, manusia membutuhkan orang lain. Untuk memperoleh penjelasan tentang diri kita, tentu kita membutuhkan orang lain, dan disini biasanya sahabat berperan.

Perasaan ingin bebas sepenuhnya dan tidak terikat dala cinta berarti menggagalkan keinginan paling dalam diri kita untuk bahagia. Sebab kebahagiaan akan timbul dari penyerahan diri kita kepada orang lain, orang yang dicinta. Ia akan timbul dari kepuasan kita untuk memberi kepada orang lain. hurManusia tidak akan mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan ingin memiliki sesuatu, melainkan dengan mengerahkan diri kepada sahabat, lingkungan, dan masyarakatnya. Etika Aristoteles mengajarkan bahwa manusia akan mencapai puncak eksistensinya dalam keterlibatannya dengan sesama. Seperti kata Yesus dalam Markus 8:35 mengatakan bahwa siapa yang kehilangan nyawanya demi yang paling luhur akan memperolehnya. Atau dalam peribahasa Jawa: mati sajroning urip (mati di tengah kehidupan) menghasilkan urip sajroning mati (hidup di tengah kematian).

No comments:

Post a Comment

komentar

Ke Mana Semua Kekuasaan Menghilang ?

Bidang politik pun semakin banya ilmuan yang meng-interprestasikan struktur politik manusia sebagai sistem pemprosesan data. Sebagai mana ...